Oktober 2013
Jika boleh menceritakan sedikit tanpa ada maksud meratapi nasib...
Ahad itu, badan seorang remaja berlumuran darah akibat kecelakaan lalu lintas diangkut pick up terbuka menuju puskesmas terdekat. Tidak ada yang bisa dilakukan puskesmas, singkat cerita ayah saya dihubungi untuk segera menjemputnya di puskesmas. Remaja itu...adik sulung saya. Dari puskesmas, ayah saya yang tidak muda lagi, menggotong-gotong anaknya sendiri yang berlumuran darah tanpa adanya bantuan dari seorangpun pihak puskesmas ke mobil. Beliau kemudian membawanya seorang sendiri ke RSUD terdekat tanpa dampingan tenaga medis.
Di RSUD, pihak medis membersihkan jalan nafas yang tersumbat darah. Yap, adik saya mengalami fraktur maksilofasial. Untunglah, saat itu saya memang dalam perjalanan pulang dari kota seberang saat ayah menelepon saya. Saat tiba di RSUD, saya melihat bapak dengan pandangan menerawang jauh, ibu pun yang menunggu di dalam IGD tak jauh berbeda. Alhamdulillah-nya, saya bangga memiliki orangtua yang bisa berpasrah pada Sang Pemilik Ruh. Mereka lebih memilih doa ketimbang jeritan tanpa makna.
Pupil anisochor, wajah tak beraturan, kepala yang terus menerus bergetar, darah tak henti-hentinya mengalir dari hidung adik saya. Ah, semua hamba pasrahkan padaMu ya Allah. Adik saya juga milikMu. Hmm, hal yang melegakan, alhamdulillah, tingkat kesadarannya masih cukup bagus kata mbak koas yang menangani. Vital sign masih dalam batas normal. CT-scan tak menunjukkan apapun, namun ada yang menggelitik otak saya. Apa yang saya perkirakan ada pada diri adik saya tidak nampak pada hasil CTscan. Ok, saya meminta transfer eksternal ke RS yang menyediakan spesialis bedah syaraf. Untuk berjaga-jaga.
Tiba di RS rujukan, status berubah dari cedera kepala ringan menjadi cedera kepala sedang. Hasil CTscan ulang yang ternyata memang berbeda dari pemeriksaan sebelumnya mengharuskan saya untuk lebih banyak berdoa. Akhirnya ICU menjadi keputusan akhir ibu dokter yang menangani adik saya. Kurang lebih 6 hari adik saya dirawat di ICU. Tiap usai bekerja, saya langsung menuju ke kota dimana adik saya dirawat. Saya duduk, saya bercengkerama, saya tidur lesehan di lantai depan ICU, saya menanti-nanti jam besuk seperti para keluarga pasien ICU lainnya, saya turut bergantian masuk ke dalam saat jam besuk tiba. Dunia berbalik. Dulu saya yang sering menatap pemandangan tak layak seperti ini. Namun saat ini, saya sendiri yang menjadi salah 1 pencipta pemandangan tak layak ini. Saya tersadar, memang tidak bisa tidak menunggui sesuatu yang sewaktu2 bisa terbang dengan mudahnya (red. nyawa). Meski jam besk hanya 2x sehari, namun keluarga pasien ICU harus menunggu 24 jam full jika ada resep tambahan yang harus ditebus ataupun kabar perburukan keadaan yang bisa terjadi kapanpun.
Kemudian muncul 1 pertanyaan yang belum pernah saya pikirkan sebelumnya, yaitu, "Apakah ada RS yang menyediakan ruang istirahat layak bagi para penunggunya?" atau hanya kekuperan saya saja yang menimbulkan ketidaktahuan itu.
Dalam perjalanan menuju pemeriksaan CTscan, USG dsb, para pengunjung yang lewat memandangi adik saya dengan tatapan yang tidak mengenakkan hati. Tubuh adik saya menjadi tontonan layaknya tubuh yang tidak berdaya dan berharga lagi. Well, padahal selama ini saya biasa saja dan tidak merasakan apa-apa jika ada pasien kecelakaan lalu lintas wira-wiri di depan saya.
Alhamdulillah di hari ke-6 adik saya pindah ke bangsal dan menjalani operasi segala fraktur yang ada. Allah masih memberi kesempatan ke-2 untuknya.
Hikmah besar Oktober 2013 :
- Saya menemukan kembali empati (yang hilang tergerus waktu) dalam diri saya sebagai seorang tenaga medis
- Bekerja di dunia medis tidak hanya sebatas menyelesaikan apa yang menjadi tugas kita, namun 1 hal yang teramat vital yaitu "C A R E" dan "E M P A T I"
- Pasien adalah keluarga saya, keluarga mereka adalah keluarga saya
- Mungkin salah satu alasan mengapa saya harus pulang ke tanah jawa adalah untuk mendampingi keluarga saya dalam menghadapi masa-masa sulit seperti ini.
Desember 2013 :
Belum kering luka di wajah adik sulung, saya diuji kembali dengan kecelakaan yang dialami adik bungsu saya di bulan Desember ini. Well, pelajaran apa yang harus saya pelajari kali ini ya Allah. Mendengar kabar lawan tabrakannya dengan truk besar, membuat saya sedikit palpitasi (red. berdebar-debar). Mendengar kabar itu dari ayah, saya langsung terjun ke TKP seusai jaga. Alhamdulillah saya bisa bernapas lega saat mengetahui kepala adik saya aman, hanya radial head fracture lengan kanan. Operasi cito segera diprogramkan. Judulnya cito sih, namun berlangsungnya 5 jam kemudian. Baik ayah maupun ibu bolak-balik ke nurse station menanyakan kapan adik saya dioperasi. Yap, dunia terbalik kembali. Biasanya saya lah yang harus menghadapi kebawelan dan kepanikan para keluarga pasien akibat pelayanan yang lama akibat birokrasi yang tidak bisa ditembus. FYI, ini RS swasta dengan pasien yang tidak terlalu banyak. Yah, namun spesialis bedah tulang belum available dalam jam-jam tersebut.
Hikmah Desember 2013 :
- Meskipun terdapat birokrasi yang cukup susah dilompati sehingga menimbulkan penundaan pelayanan medis yang cukup lama, setidaknya informasi yang adequat memungkinkan sedikit ketenangan di pihak keluarga pasien.
- Sabar. Ini yang harus ditingkatkan dan selalu terpelihara pada kondisi apapun dalam menjalani profesionalitas saya.
Satu lagi yang saya rasakan lebih di tahun ini. Saya lebih merasakan apa yang dinamakan tulang punggung. Waktu sudah berputar sekian lama hingga membesarkan diri saya seperti sekarang ini. Saya sebagai anak sulung perlahan ikut menyetir posisi tulang punggung keluarga. Tulang punggung itu... harus membuka mata lebar-lebar di saat anggota keluarga lain terpejam, berperan sebagai main decision maker, nggantiin nyetir antar kota larut malam dan harus menyamarkan muka lelah meskipun badan udah berasa tak bertenaga usai bekerja, harus lebih kuat mental dan tenaga dibanding anggota keluarga lain, kudu selalu berkepala es (red. berpikir dingin), harus kreatif dalam menciptakan candaan untuk menghibur anggota keluarga lain, ehmmm apalagi ya. Hehe. Ya emang cuma sampai level itu seh yang gw bisa lakuin. hahahaha.
Beban tulang punggung keluarga ternyata jauh lebih berat dari itu. Gak bisa ngebayangin, betapa besar perjuangan bapak memimpin keluarga sampai saat ini. I love U dad. I love U mom.
Semoga saya selalu bisa memberikan yang terbaik bagi setiap pasien yang datang kepada saya. Menjadi tenaga medis yang AMANAH dan selalu CARE sepanjang hidup saya. Amin.