Selasa, 19 Oktober 2010

Sate Birokrasi

Pagi ini, tepatnya di hari kedua memasuki stase baru, 12 buah koas berkerumun di dalam suatu ruangan sempit berukuran kurang lebih 3 x 4 m. Dari situ terdengar sebuah dialog...
S      : ya sudah. Terserah kalian mau apa. (dengan nada datar dan ekspresi wajah yang entah itu      tersenyum atau datar)
K     : Tapi kemarin dr. T bilang kami diminta ngadep para staf dulu satu per satu di hari pertama dok.
S      : yasudah, sana terserah kalian mau apa. Saya ini yang dititipi kalian oleh fakultas. Jadwalnya udah ada kan. Itu jadwal yang udah ditetapin dari kampus.
K     : kemarin dr. W bilang udah gak pake jadwal ini lagi dok. (sambil menyerahkan selembar jadwal kegiatan koas).
S      : yasudah. Kalian mau apa sekarang terserah. Toh juga ntar yang nandatanganin nilai kalian itu saya. Ya sekarang tergantung sama saya. Saya jadi “tersinggung” apa nggak dengan kejadian ini.
K     : tapi kemarin kami mau ngadep dokter, dokter tidak berangkat.
S      : yasudah. Sekarang berdoa aja biar dr. S (red. Beliau sendiri) tidak tersinggung dan mencelakakan nilai kalian. Kalau ntar kalian merubah jadwal kegiatan yang tercantum dalam jadwal, ntar dr. W marah lagi ke kalian.
K dan koas lain : $#^&@#$%* (simalakama mode : on)
K      : ya, kami terserah dr.S aja.
S       : ya iya. Berdoa aja biar dr. S gak tersinggung dan mau menandatangani nilai kalian di akhir nanti.
K      : yaudah dok. Kami menemui dr. W dulu.
Kemudian dengan sekonyong-konyong, kami bergerombol 12 ekor menemui dr.W. Kemudian dr. W menemui dr. S, entah apa yang akan dibicarakan dan terjadi kemudian.
Ket.
Dr. S = staff pengurus koas, seorang pria, ganteng banget dah, ganteng.
Dr. W = staff juga, cantik banget dah, cantik.
K = juru bicara koas, salah satu bagian dari 12 koas dalam stase “yang tidak bisa disebut namanya”

Benar jika koas diistilahkan sebagai kumpulan orang serba salah. Setelah 4 minggu terbang bebas terlepas dari zona Rumah sakit induk (red. dari Ngoass MF di luar RS), saya ternyata harus kembali pulang ke rumah sakit yang penuh dengan hiruk pikuk ini. Bukannya merendahkan tempat saya menimba ilmu tersebut, namun hanya suatu hal yang selalu ada di sini yang membuat saya gerah untuk bergerak. BIROKRASI.
Burung akan lebih tangguh bila hidup terbang bebas di alam terbuka dibandingkan jika dibatasi dalam beribu jeruji kayu yang disebut sangkar. Dalam hal ini, birokrasi menjadi sangkar bagi diri saya sendiri (mungkin tidak untuk yang lain). Saya seorang yang sangat sensitif dengan hal yang menyenggol kebebasan dan hal yang menekan otak (yang semestinya tak perlu menekan). Tentu saja selalu ada hal yang menekan otak selama kita “hidup”, karena ini “kehidupan”. Namun yang saya maksud disini adalah hal-hal yang seharusnya tak perlu masuk ke dalam otak, mendesak otak hingga melebihi kapasitas hal-hal yang memang harus masuk otak, misal materi kuliah, kasus pasien, dan sebagainya.
Seperti yang tampak dari dialog di atas. Para koas yang stres bukan karena masalah ilmiah, namun hanya karena suatu perdebatan intern antar staf  yang para koas pun dipaksa berperan di dalamnya. Birokrasi. Napa sih jadi orang suka mempersulit orang lain? Apakah yang dibicarakan tadi hal yang besar yang sampai mengancam nyawa? Mengapa selalu harus nilai kami yang menjadi taruhan jika kalian ber-mood buruk? Apakah tak pernah terlintas sedikitpun dalam pikiran anda yang pinter itu untuk beralih segi pandang dari mata kami? Sadar gak sih, dari jaman kuliah anda telah pernah secara tidak langsung menyakiti perasaan anak didik anda? (aku seh agak gak sakit hati, orang tidur mulu kalo kuliah. Tapi ya gerah banget ikut ngerasain atmosfer dan posisi yang seperti itu). Dosa gak tuh kalo sampe ada ucapan yg nyakitin atau mempersulit orang lain?
Sobrun sobrun.
Emang susah ya kalo berada di tempat seperti ini dengan peraturan tertulis maupun tak tertulis yang agak ndeso dan konyol. Andai saja syarat ujian tak lagi memerlukan bermilyar tanda tangan staf yang sebuah tandatangan saja harus menghabiskan waktu beratus2 jam untuk menunggu tanpa tujuan hidup yang jelas. Andai saja syarat ujian tak berbelit2 dan bisa diurus via internet. Sidik jari apa cap jempol gitu. Jadi gak usah ribet2 beribu2 ribet. Andai saja semua staf berjiwa dermawan ilmu, ikhlas dan memandang segala sesuatu itu adalah persiapan di akhirat...
Back to laptop,
Udah aku tebak beliau bakal berulah. Eeeeeh benerrrr, dia berulah. Terbukti kan. Hmmm. Emang berbakat jadi perabot pengadilan, cerdas dan lihai menempatkan orang di posisi bersalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar