Minggu, 19 September 2010

bukan untuk dibaca

Ratusan kilometer yang aku tempuh bersama motorku hari ini, membawaku pada sebuah perenungan  mengenai perjalanan koasku. Masih terngiang wajah penguji saat ia menganggapku  tidak belajar sebelum ujian. 
Perjalanan koas selama 2 tahun = perjalanan di jalan raya mengendarai motor bututku.


Kecepatan motor yang konsisten di tiap liku jalan yang di tempuh, akan membawa saya kepada perjalanan yang aman, cepat, dan membawa ketenangan di hati. Menambah kecepatan secara signifikan pada jalan-jalan yang sepi atau yang sudah kita kuasai medannya, dan menurunkan kecepatan secara mendadak di jalan yang rawan macet, tidak akan membuat saya lebih cepat sampai tempat tujuan. Ini hanya akan menambah halus ban motor, mempercepat aus kanvas rem, dan tentu saja membuat jantung takikardi di saat-saat yang tidak terduga. Perjalanan dengan kecepatan yang stabil (mengendarai motor dengan perasaan), pengindraan dari jauh, selalu waspada di tiap liku jalan...
Perjalanan koas...belajar hanya di stase yang saya suka, tidak mood (red. males belajar) di stase yang tidak saya  suka baik dalam hal materi maupun orang2 congkak yang ada di sekitarnya...brrrh
selalu konsisten di tiap stase baik yang kita suka maupun tidak...
toh ini jalan yang dulu udah dipilih diri sendiri...
tidak boleh egois,
ada bapak yang menanti...
ada ibu yang menanti...
ada adik-adik yang butuh kesuksesan itu...
dan ada harapan serta cita yang tak sabar menanti ingin segera diwujudkan oleh saya...

tulisan yang kacau, bahasa yang balau, memang bukan untuk publik. Hanya konsumsi pribadi. Bukan untuk cilo maupun dulo. Tapi untuk "aku".

tiba di solo, mendapatkan sebuah sms dari bapak,
B : dah nyampe nduk? ujan gak? motornya sehat kan?
A: udah nyampe. hampir ujan. sehat motornya.
B : alhamdulillah. Tidur dulu. trus belajar. Aq doain.

Solo, 19/9/2010, 17:37 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar